Shiddiqiyyah, Maqom Tertinggi Setelah Kenabian
SHIDDÎQIYYAH, MAQOM TERTINGGI SETELAH KENABIAN
Oleh
Ustadz Muhammad Ashim Lc
Perbedaan manusia dalam merespon dengan baik ajaran-ajaran Allâh yang disampaikan oleh Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semangat dalam menjalankannya berpengaruh pada tingkat dan kedudukan manusia di sisi Allâh Azza wa Jalla. Semakin cepat seseorang menerima kebenaran dan mengamalkannya, maka ia akan jauh lebih baik daripada orang yang menunda-nunda menerima kebenaran. Demikian juga, seseorang yang bersegera menyambut perintah Allâh Azza wa Jalla dan menahan diri dari larangan-Nya, akan jauh lebih baik daripada orang-orang yang berpikir terlebih dahulu dan menjalankannya kemudian.
SHIDDÎQIYYAH MAQOM TERTINGGI
Kedudukan shiddîqiyyah sebagai maqom tertinggi yang bisa diraih manusia selain para nabi dan rasul tampak pada firman Allâh Azza wa Jalla berikut yang menjelaskan tingkatan manusia yang Allâh Azza wa Jalla berikan kenikmatan kepada mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Dan barang siapa yang menaati Allâh dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allâh, yaitu Nabi-nabi, para shiddîqîn dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allâh, dan Allâh cukup mengetahui. [An-Nisâ`/4:69].
Dalam ayat mulia di atas, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan shiddîqiyyah dalam urutan setelah derajat kenabian. Mereka adalah ‘orang-orang yang tashdiq (pembenaran) mereka terhadap risalah yang dibawa para rasul telah sempurna, mereka mengetahui al-haq, membenarkannya dengan penuh keyakinan dan menjalankan al-haq tersebut dalam ucapan, perbuatan, keadaan dan mendakwahkannya’.[1]
Sudah diketahui bersama di kalangan ahlil haq bahwa shiddîqiyyah adalah maqom tertinggi yang mungkin dicapai oleh manusia sempurna yang tidak memperoleh derajat kenabian. [2]
ABU BAKAR ASH-SHIDDÎQ RADHIYALLAHU ANHU TERMASUK SHIDDÎQÎN
Maka, tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu dari kalangan shiddîqîn. Sebab, gelar ash-shiddîq sangat melekat dengan Sahabat Abu Bakar yang bernama asli ‘Abdullâh bin ‘Utsmân at-Taimi Radhiyallahu anhu . Sampai-sampai, tidaklah nama Abu Bakar terucap oleh lisan seseorang kecuali akan diiringi dengan ash-shiddiq. Gelar tersebut bukanlah muncul dari penghormatan masyarakat dan penghargaan mereka. Akan tetapi, berasal dari lisan Nabi Muhammad n .
Dari Anas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendaki Uhud, bersama Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsmân. Lalu gunung itu bergetar. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْكُنْ أُحُدُ فَلَيْسَ عَلَيْكَ إِلَّا نَــــبـِـيٌّ وَصِدِّيْقٌ وَشَهِيْدَانِ
Tenanglah wahai Uhud. Tidaklah berada di atasmu kecuali seorang nabi, seorang shiddîq dan dua orang syahid [HR. Al-Bukhâri no.3699]
Orang yang disebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan gelar shiddîq adalah Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu .
Dalam hadits lain, disebutkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka” (Al-Mukminûn/23:60). “Apakah mereka itu adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khamr?”.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak wahai putri Ash-Shiddîq, ia adalah seseorang yang berpuasa, bersedekah dan mengerjakan shalat, sedang ia takut bila tidak diterima dari mereka”. [3]
Sejarah Islam tidaklah mengenal ada seseorang disebut dengan gelar ash-shiddîq dengan sangat jelas dan terang-terangan dalam nash-nash syari’i selain Abu Bakar Ash-shiddîq Radhiyallahu anhu . Selain itu, Ulama Islam telah sepakat untuk menamai beliau dengan gelar tersebut.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para imam telah sepakat untuk menamai Abu Bakar dengan ash-shiddîq. ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu berkata, ‘Sesungguhnya Allâh lah yang menamakan Abu Bakar dengan gelar ash-shiddîq melalui lisan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. [4]
Gelar istimewa yang melekat pada pribadi Abu Bakar dengan ash-shiddîq tidak lepas dari statusnya sebagai orang yang pertama memeluk Islam dari kalangan orang dewasa, keimanannya terhadap perjalanan Isra Mi’raj yang ditempuh oleh Nabi dalam semalam. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mempersaksikan keimanan Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu yang sangat kuat dan kokoh.
Selain itu, dengan hidayah Allâh, kemudian melalui perantara Abu Bakar ash-Shiddîq, sejumlah Sahabat senior memeluk Islam. Mereka adalah ‘Utsmân bin ‘Affân, Thalhah bin ‘Ubaidillâh, Zubair bin ‘Awwâm, Abu ‘Ubaidah bin Jarrâh, Sa’ad bin Abi Waqqash dan ‘Abdur Rahmân bin ‘Auf.[5]
ABU BAKAR ASH-SHIDDÎQ RADHIYALLAHU ANHU ORANG PALING UTAMA DARI UMAT ISLAM
Karena itu, Ulama Islam sepakat bahwa Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu adalah orang terbaik dan paling utama dari umat ini setelah Nabi umat Islam, Muhammad bin ‘Abdillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Ibnu Baththah rahimahullah mengatakan, “Kemudian mengimani dan mengenal orang terbaik dan insan yang paling utama kedudukannya di sisi Allâh Azza wa Jalla setelah para nabi dan para rasul, serta orang yang paling berhak menggantikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dialah Abu Bakar ash-Shiddîq ‘Abdullâh bin ‘Utsmân. Yaitu ‘Atîq bin Abu Quhafah Radhiyallahu anhu . Dan hendaknya engkau tahu bahwa pada hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, tidak ada seseorang dengan karakter yang kami sebutkan sebelumnya selain dia. Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmatinya”.[6]
‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu pun pernah menyampaikan kepada khalayak manusia di atas mimbar, “Sebaik-baik orang dari umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar Radhiyallahu anhu kemudian ‘Umar (bin Khaththab)”.[7]
KALANGAN SUFI TERGELINCIR DALAM BAB INI
Tidak ada perbedaan di kalangan Ahli Sunnah wal Jamâ’ah bahwa para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia-manusia terbaik setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan sesungguhnya masa mereka adalah sebaik-baik masa yang pernah berlangsung di muka bumi ini. Dan Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu adalah orang yang paling utama dari generasi Sahabat.
Maka, tidak mungkin dibayangkan akan terlahir orang yang mencapai derajat para Sahabat atau mendekati derajat mereka, setelah generasi emas tersebut berakhir. Bahkan para Sahabat yang telah memeluk Islam sejak awal perkembangan dakwah Islam di Makkah memiliki keutamaan dan ketinggian derajat melebihi para sahabat lain yang memeluk Islam belakangan. Bukankah akan lebih tidak mungkin lagi ada orang datang setelah generasi mereka dan disebut-sebut derajatnya menyamai apalagi sampai melebihi kedudukan para Sahabat Nabi?. Tentu ini tidak mungkin secara syariat dan logika.
Dalil-dalil Ahli Sunnah sangat banyak, baik dari Kitabullah maupun Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antaranya:
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
Orang-orang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allâh [At-Taubah/9:100]
Tidak mungkin ada seseorang akan berani bersaksi bagi orang lain dengan penuh keyakinan bahwa Allâh Azza wa Jalla telah meridhai orang tersebut setelah generasi Sahabat pergi.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ
Janganlah kalian mencela para Sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infak salah seorang mereka bahkan setengahnya pun tidak”. [Muttafaqun ‘alaih]
Apabila larangan mencela dalam hadits ini terarah kepada para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memeluk Islam belakangan terhadap para Sahabat yang sudah memeluk Islam pertama-tama, maka pengarahan larangan ini kepada selain Sahabat dari generasi yang datang selanjutnya lebih pantas lagi.
Sementara kalangan Sufi memiliki keyakinan tersendiri yang berbeda dari kalangan Ahli Sunnah yang telah menetapkan Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu adalah manusia terbaik dan paling agung setelah para nabi dan rasul, dan para Sahabat Nabi adalah generasi terbaik yang pernah terlahir di muka bumi ini.
Orang-orang Sufi menjadikan para aqhthab mereka sebagai orang-orang terbaik, sebagaimana disebutkan dalam buku referensi Sufi yang terpercaya, bahkan kadang menyamakan kedudukan mereka dengan kedudukan para nabi atau meninggikan derajat mereka di atas derajat para nabi.
‘Ali bin Muhammad Wafa yang disebut-sebut mencapai derajat al-quthb ketika berbicara tentang derajat ash-shiddîqiyah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa ash-shiddîqiyah itu masuk dalam bingkai derajat quthbiyyah.. Al-Quthb adalah penampakan cahaya Al-Haq (Allâh) pada kesempurnaan yang mungkin dicapai bangsa manusia sesuai dengan masa dan daerahnya. Sedangkan ash-shiddîq adalah penampakan cahaya al-quthb yang terpancar pada kemuliaan yang mungkin dicapai orang yang serupa dengannya”. [8]
Makanya, tidak mengherankan bila dalam referensi Sufi, biografi Abu Bakar Ash-shiddîq hanya ditulis dalam 16 baris saja, sedangkan biografi Ali Muhammad Wafa al-quthb dalam 43 halaman.
Jika telah diketahui orang-orang Sufi menjadikan para aqthab di level teratas manusia dan menomorsekiankan Sahabat-sahabat Nabi, maka kita dapat mengetahui bahwa orang-orang Sufi pastilah akan mengunggulkan aqhthab di atas orang-orang yang berada di bawah derajat para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Al-Khawwâsh mengatakan, “Makhluk yang paling sempurna dalam setiap masa adalah al-qutb”.[9]
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjaga kita dan umat Islam dari keyakinan-keyakinan yang tidak sejalan dengan al-Qur`ân dan Sunnah. Amin
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 150
[2] Taqdîsul Asykhâsy fî al-Fikril Shûfi 1/114.
[3] HR. At-Tirmidzi, Ibnu Mâjah dan Ahmad. Dan dihasankan oleh Al-Albâni dalam ash-Shahîhah hlm. 162.
[4] Tahdzîbul Asmâ wal Lughât 2/181.
[5] Al-Khilâfatur Râsyidah hlm. DR. Akram al-Umari 72.
[6] Asy-Syarhu wal Ibânah 25. Kutipan dari Manhaj al-Imâm asy-Syâfi’i Fî Itsbâtil ‘Aqîdah 2/441.
[7] HR. Ahmad no.839. Isnâdnya qawî.
[8] Ath-Thabaqâtul Kubrâ, asy-Sya’râni 2/27.
[9] Ath-Thabaqâtul Kubrâ 2/181.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9518-shiddiqiyyah-maqom-tertinggi-setelah-kenabian.html